- Kelahiran dan asal-usul
Dalam
kitab “hikam” syekh ibnu athoillah As-sakandari berkata “idfin wujudaka fii
ardil khumul”, artinya: pendamlah dirimu dalam tanah kekhumula (merendahkan
diri), atau lebih dikenal dengan sebutan low profile. Imam as-sakandari
menyarankan kepada siapa saja untuk sebisa mungkin bersikap andap asor (rendah
diri) dan menjauhi sifat ketenaran. Sifat inilah yang sering kita dapati dalam
biografi ulama’ulama’ terdahulu (salaf), sifat yang diaplikasikan oleh orang
yang mulia agar tidak dimulyakan, begitu juga dengan kyai M. Thohir yang akrab
dipanggil “mbah thohir”. Beliau adalah sosok kyai yang alim dalam ilmu fiqih
dan berjiwa pejuang. Biografi mbah thohir tak banyak diketahui oleh khalayak
umum. Selain karena masanya yang amat lampau juga disebabkan tidak adanya bahan
pusaka dan jarangnya nara sumber. Tidak ada yang mengetahui dengan jelas kapan
beliau dilahirkan, akan tetapi diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1880m.
perkiraan inni mengacu pada umur beliau ketika mulai berjuang dan berdakwah di
kebonsadeng sudah berumur 40 tahun. Sedangkan mengenai dari mana asal beliau
yaitu dari salah satu daerah di yogyakarta, tepatnya di dusun sorogaten desa
bandung kecamatan nanggulan kebupaten kulon progo, kota jogja sekarang telah
menjadi salah satu ikon kota seni kultur di indonesia. Di masa lalu kota ini
adalah salah satu daerah yang dikuasai oleh kerajaan mataram pada kurun abad 15
sampai 17 M, yang kemudian setelah kerajaan mataram runtuh kekuasaannya pecah
menjadi 2 yaitu kerajan yogyakarta dan kerajaan solo.
- Nasab dan pendidikan beliau
Mbah
Thohir dilahirkan dalam keluarga yang bersahaja yang taat beribadah, ayah
beliau adalah kyai Abdur rohman bin abdur rohim yang konon masih ada hubungan
dengan keraton jogja. Selama berada di yogyakarta mbah thohir kecil belajar
ilmu agama kepada ayhanya sendiri. Dengan penuh perhatian kyai abdur rahman
begitu telaten dalam mendidik putrnya karena dialah yang menjadi harapan beliau
untuk meneruskan perjuangan yang membutuhkan pengorbnan dan dedikasih tinggi
dalam menerapkan satu-satunya ajaran yang diridloi oleh Allah swt. Semangat
mbah thohir dalam menuntut ilmu menggebu-gebu, sehingga membangkitkan gairahnya
untuk berkelana dalam tholabul ’ilmi. Untuk itu beliau rela berjalansetapak
demi setapak hanya untuk mencari guru ilmu syari’at dan pondok pesantren. Dalam
berkelana mencara ilmu mbah thohir muda singgah di nganjuk mangunsari yang mana
pada waktu itu diasuh oleh KH. Imam bakri yang mana dari beliaulah lahir
ulama’ulama’ nusantara, diantaranya K.H. Ihsan bin Ahmad Dahlan Al-Jampesi,
Imam Ghozalinya orang indonesia, yaitu pengarang kitab “Sirojut Tholibin”
syarah kitab Minhajul Abidin yang sangat dikagumi oleh ulama’-ulama’ tanah
hijaz, padahal beliau tholabul ilmi disana. Bahkan pada waktu itu raja farauk
mesir tertarik untuk menjadikan beliau sebagai guru besar di universitas
al-azhar, namun dengan kerendahan hati beliau menolak dengan halus. Syekh ihsan
dengan segala kesederhanaan laku dan kedalaman ilmunya adalah harta terpendam
negeri kita yang sulit dicari bandingan mapun tandingannya hingga kini. Setelah
dari nganjuk mangunsari, mbah thohir masih belum puas dengan apa yang diperoleh
selama ini karena bagi seorang tolabul ilmii sejati, beliau yang mempunyai
prinsip “hanya orang bodohlah yang merasa alim dengan dirinya” sedangkan bagi
orang alim sejati semakin dalam ilmunya maka semakin merasa tidak puas dengan
ilmunya, karena diatas langit masih ada langit lagi. Untuk itu mbah tohir
menlanjutkan tholabul ilminya ke pondok pare yang mana pada waktu itu diasuh
oleh KH. Abdullah faqih. Di pare beliau mbah Thohir dikenal sebagai santri yang rajin baik
belajaranya dan istiqomahnya. Beliau dengan rutin melaksanakan aktivitas
belajar dan mengajar dengan penuh semangat tak pernah ada rasa terlambat dalam
kamus mbk Thohir , karena kistiqaomahan dan kaliman beliau KH. Abdullah Faqih sang
guru menjodohkannya denagan putranya yaitu Umi Kulsum, ketika Nyai Kulsum hamil
muda mbah Thohir berkelana untuk
berdakwah dan menyebarkan ilmunya di nusantara ini, yang perlu diketahui pada
zaman dahulu seorang da’I yang sudah punya istri meninggalkanya baik karena
tholabul ilmi untuk karena dakwah sudah dianggap biasa tidak dikatakan perkara
yang tabu akan tetapi merupakn sesuatu yang mulia.